Sabtu, 27 November 2010
anak tidak masuk rangking 10 besar
Assalaamu'alaikum, wr, wb.
Kita sering bangga mengetahui berita keberhasilan siswa Indonesia mendapatkan medali di event olimpiade sains internasional. Kebanggaan itu menjadi penyejuk dan pemberi asa akan masa depan bangsa kita, terutama di tengah tengah berita berita buruk yang terjadi di masyarakat kita yang kadang membuat kita seperti putus asa atas masa depan bangsa Indonesia.
Tetapi, tahukah anda bahwa sistem pemberian medali emas, perak dan perunggu di olimpiade sains tidak seperti di olimpiade olahraga yang biasa kita kita kenal ?
Berbeda dari olimpiade olahraga yang hanya memberikan satu emas, satu perak dan satu perunggu untuk setiap perlombaan, Olimpiade sains memberikan penghargaan medali emas, perak, dan perunggu kepada lebih dari tiga peserta. 10 % siswa dengan nilai tertinggi berhak mendapatkan medali emas. 20% siswa berikutnya mendapatkan medali perak, dan 30% berikutnya mendapatkan medali perunggu. Dengan demikian, 60% peserta pasti akan mendapatkan medali emas, perak atau perunggu. Di luar top 60% itu, ada para peserta yang akan mendapatkan sertifikat penghargaan semacam "juara harapan"; dan sisanya akan mendapatkan piagam penghargaan sebagai "peserta".
http://en.wikipedia.org/wiki/International_Chemistry_Olympiad
So, what gitu loh ?! :)
Sebagian besar di antara kita tentu akan bergumam, "ooo, ternyata begitu, tho." dan sejurus kemudian, sisi negatif thinking kita akan berkata, "wah, ternyata tidak sulit untuk mendapatkan medali di olimpiade sains internasional." Dan tiba tiba, kita tidak lagi bangga dengan medali medali yang diraih anak anak kita di olimpiade sains internasional tsb.
Negatif thinking itu menurut saya adalah buah dari sistem ranking yang diterapkan di sekolah sekolah di negeri kita. Sejak kecil, anak selalu diranking terhadap anak yang lain. Perankingan itu selalu menghasilkan n posisi juara nomor x, dimana x adalah bilangan bulat positif dan n adalah jumlah siswa. Dengan demikian, hanya ada satu orang juara satu, satu orang juara dua, dan seterusnya, hingga pasti ada satu orang juru kunci juara ke-n.
Dengan sistem seperti ini, maka hanya segelintir siswa saja yang mendapatkan apresiasi. Mayoritas siswa tidak mendapatkan apresiasi; tidak peduli betapapun keras usaha mereka, betapapun tinggi nilai mereka. Mereka tidak mendapatkan apresiasi dari guru, dan dari masyarakat atas apapun yang mereka capai, kecuali juara 1, 2 atau 3. Apresiasi menjadi barang langka bagi siswa. Celakanya, orang tua pun juga memiliki pandangan yang sama. Mereka ikut ikutan pelit memberikan apresiasi thd anak mereka karena anak mereka "tidak mendapat ranking". Mayoritas anak Indonesia tumbuh dalam suasana miskin apresiasi karena guru, orang tua, dan masyarakat sangat pelit dalam memberikan apresiasi.
Kelak, ketika dewasa, anak anak itu juga akan pelit memberikan apresiasi. Anak anak itu adalah kita kita sekarang ini. Kita yang tiba tiba turun -atau bahkan hilang seketika- respek dan apresiasi kita untuk anak kita yang berhasil meraih medali perunggu, perak, bahkan emas sekalipun di olimpiade internasional; semata mata karena sekarang kita menjadi tahu bahwa bisa jadi anak peraih medali perunggu itu adalah ranking 60 dari 100 peserta, bisa jadi peraih medali perak itu adalah ranking 30 dari 100 peserta, dan bisa jadi peraih medali emas itu "hanya" ranking 10 dari 100 peserta. Sungguh celakalah diri kita !
Hari ini, 4 anak saya mengenyam pendidikan sekolah dasar dan menengah di Kanada. Negara yang masuk dalam kategori negara maju. Maukah saya beritahukan kepada Anda rangking berapa anak saya di sekolah mereka? Tidak ada satupun anak saya yang "mendapatkan ranking". Apakah saya kecewa dengan prestasi mereka? Tidak. Mengapa? Karena sistem pendidikan di Kanada sini tidak mengenal ranking. Tidak ada ujian kenaikan kelas. Tidak ada ujian akhir semacam EBTANAS atau UAN.
Semua siswa diapresisasi sesuai dengan attitude mereka, kemauan mereka untuk terus belajar, mencintai dan peduli kepada teman, guru, orang tua dan lingkungan mereka. Kemampuan akademik siswa tidak diranking thd sesama siswa, tetapi thd pencapaian standar kurikulum. Ketika semua siswa telah mencapai standar kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan "alami" individu siswa, maka semua siswa adalah sang juara.
Mereka menjadi juara bukan karena bisa mengalahkan teman mereka; karena teman memang bukan untuk dikalahkan. Mereka menjadi juara karena mereka mampu menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan baik dan benar. Mereka menjadi juara karena mereka bisa mengalahkan unsur unsur negatif dari diri mereka: kemalasan, selfishness, akhlak yang buruk, dan lain lain. Mereka menjadi juara karena mereka mau belajar untuk menjadi manusia yang baik.
Apakah hanya Kanada yang tidak menerapkan sistem ranking? Tidak. Konon kebanyakan negara maju memang tidak meranking siswa thd siswa lainnya. Dan buktinya, olimpiade sains internasional memberikan penghargaan kepada semua peserta olimpiade. Bukan karena fakta bhw mereka adalah siswa terbaik dari negerinya masing masing, tetapi karena tujuan dari pendidikan dan acara olimpiade itu sendiri adalah mendorong kecintaan para siswa kepada sains. Bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk bersama sama menjadi sang juara, yaitu mereka yang gemar berfikir, mau meninggalkan kemalasan dan mau bersilaturahmi dengan teman teman mereka dari seluruh penjuru dunia.
Mudah mudahan sistem ranking di sekolah sekolah di Indonesia segera lenyap.
Setujukah anda dengan do'a saya ini?
Wassalam,
Rois Fatoni
Dosen Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta
Graduate Student (atas biaya DIKTI)
Department of Chemical Engineering
University of Waterloo
200 University Avenue West
Waterloo, ON, Canada N2L 3G1
519 888 4567 ext 35675
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar