Senin, 17 Mei 2010
KITA HANYA SEDIKIT LUPA..............
Bismillah… sejarah yang saya tulis disini masih perlu diverivikasi kebenarannya.
Saya pernah mendengar, bahwa untuk melakukan rekayasa sosial dibutuhkan tiga hal :Ide,tokoh dan gerakan yang massif. Lantas, idea atau desire apa yang harus kita tanamkan untuk melecutkan kita semua menjadi bangsa yang lebih beradab?
Kita semua tahu bahwa salah satu kunci untuk menjadi manusia sukses adalah kepercayaan diri, dengan demikian sebuah bangsa yang ingin maju tentunya juga harus memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Namun, ketika sebuah pertanyaan sederhana saya lontarkan kepada sekelompok mahasiswa ITB :” Seperti apakah bangsa Indonesia menurut kamu?” sebagian besar dari mereka menjawab :Korup, Pemalas, Dilecehkan dunia Internasional (pecundang) dan sebagainya.. Ibarat manusia, hal ini mengisyaratkan tak hanya kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa yang rendah.. malah menurut saya sudah menjurus ke arah depresi. Apakah Benar bahwa bangsa kita demikian buruknya?
Apakah benar bahwa bangsa kita pecundang?
Alkisah.. pasukan Gurkha adalah pasukan sewaan (orang2 nepal, india) yang terkenal garang dan hebat. Mereka diiringi banyak mitos, salah satunya adala pisau andalan mereka yang konon bisa membelah orang. Saat perang Malvinas (inggris vs argentina), menyerahnya argentina diindikasikan salah satunya karna ketakutan terhadap Gurkha, dan dalam perang tersebut tak ada satupun Gurkha yang mati. Namun.. sekian puluh Gurkha mati di Surabaya.. Oleh siapa? Oleh prajurit pilihankah? Bukan.. mereka mati oleh pemuda2 tanggung seusia saya.. arek-arek Surabaya yang hanya bermodalkan bambu runcing dan hasrat untuk tetap merdeka..
Dalam buku Perang Eropa dipertontonkan kehebatan Churcill dan pasukan Inggris.. dan konon katanya selama PD 2 tak satupun Jendral Inggris yang mati. Namun, seorang Jendral Inggris mati di Surabaya.. lagi-lagi oleh sekelompok pemuda yang hanya bermodalkan bambu runcing dan hasrat untuk tetap merdeka. Kemarahan Inggris membawa malapetaka bagi Surabaya yang dihujani serangan dari darat, laut dan udara.. bayangkan dalam kondisi sedemikian riuh, ada saja yang nekat memanjat atap hotel Yamato untuk sekedar mengganti merah,putih, biru menjadi merah-putih…
Kita bisa menelusuri sejarah perang lebih lanjut.. saat sebuah Negara menyerah kalah.. biasanya masih menyisakan sekian banyak pasukan dan senjata (cek di buku perang eropa), jarang sekali sampai habis-habisan (puputan). Namun di Nusantara ini.. pernah terjadi pertahanan harga diri hingga meletus perang puputan.. Setidaknya ada di Bali, dipimpin oleh I Gusti ktut Jelantik dan di Aceh waktu mempertahankan benteng kutoreh… sebuah hasrat merdeka yang diwujudkan dalam perang habis-habisan tanpa sisa dengan mengorbankan jiwa dan raga…
Jadi apa benar kita adalah bangsa yang pecundang? Tidak.. kita adalah bangsa yang pemberani.. kita hanya sedikit lupa dengan masa lalu kita.
Apakah benar bahwa kita adalah bangsa yang korup? Alkisah.. pernah ada di Nusantara kita seorang Ratu Sima dari Kalingga.. Beliau terkenal sebagai seorang Raja yang adil, jujur dan tegas.. pemerintahannya bersih. Hal ini mengundang penasaran seorang dari Arab yang ingin mengujinya dengan meletakan emas permata disana. Tak satupun rakyat yang berani menyentuhnya sampai suatu ketika sang pangeran calon pewaris tahta menyentuh emas permata tersebut. Tanpa ampun, ratu sima menghukum buah hatinya tersebut, salah satu versi menyebut sang pangeran dipotong kakinya..
Jadi apa benar kita adalah bangsa yang korup?
Tidak.. setidaknya pernah terjadi di Nusantara kita ketika hukum ditegakan, keadilan diwujudkan.. mungkin kita hanya sedikit lupa dengan masa lalu kita…
Apakah kita adalah bangsa yang bodoh?
Alkisah.. Sastra Lisan Bujang Tan Domang dari Riau mengisyaratkan keramahan ekologis sebelum kita mengenal terminology Sustainable Development,, Jendral Sudirman membuat linglung Belanda dengan Inovasinya terhadap strategi perang Inggris saat menusuk Birma (kita mengenalnya sebagai Gerilya), Dengan bantuan Laksamana Nala, Gadjahmada dalam waktu singkat berhasil mengubah pola pertahanan yang bersifat continental menjadi berbasis maritim,, dan sebagainya.. kita bukanlah bangsa yang bodoh.. kita hanya sedikit lupa dengan masa lalu kita…
Kembali ke syarat seorang manusia bisa sukses.. saya kira, semua training motivasi mensyaratkan kepercayaan diri dan mimpi.. Jadi, kepada kaum muda.. mari kita ubah cara pandang kita terhadap bangsa kita,, berpikirlah positif.. kita adalah bangsa yang terhormat.
Kita pun membutuhkan strong desire,,vladmir putin bersama rekan-rekan eks KGB memiliki desire “The Great Rusia”. Kaum Yahudi memendam desire “tanah yang dijanjikan”.. Korea berkata :”Baja..Baja..Baja.. Kalahkan Jepang”. Lantas apa yang harus menjadi Desire kita?
Andaikan kita adalah bangsa yang nakal.. untuk menghancurkan Singapura dan Malaysia cukup dengan membakar beberapa pulau terluar.. mereka akan sesak napas karna asap.. Cukup dengan memasang perompak atau ranjau di Laut untuk menghancurkan perekonomian dunia karna perairan kita sangat ramai digunakan sebagai jalur pengiriman barang (termasuk supply minyak china)..menghancurkan kalimantan dan papua sangat mengganggu kesetimbangan iklim global. . Bahwa Indonesia memegang peranan kunci dalam keseimbangan tatanan global, bisa dijadikan titik pijak untuk menemukan desire kita.. karna kita bukanlah bangsa yang nakal...
Zulkaida Akbar
Minggu, 09 Mei 2010
Islam Nusantara Mereka yang Rela 'Menjual Diri' Kepada Allah
Hidupnya jauh dari sederhana. Tapi, sepetak lahan 200 meter persegi yang ia punyai diwakafkan untuk mushala dan madrasah. Mudasir pemilik tanah itu, mengikhlaskannya untuk sarana pendidikan di bawah Gunung Linggo, Trenggalek, Jawa Timur. Sebagai pengganti lahan untuk bercocok tanam, ia menggarap sebidang tanah perhutani di lereng Gunung Abimanyu yang ditanami singkong sebagai makanan pokok.
Dai desa yang lugu itu, hanya berniat menyelamatkan tunas desa agar dapat pendidikan lebih baik. Kini, dibantu dai desa yang lain, Mudasir mengurus 300 santri. Madrasah itu juga dilengkapi playgroup ala kampung, TPA, dan majelis taklim. Semuanya gratis, agar anak-anak tak takut belajar karena orang tuanya tak mampu membayar.
Di bilangan Rawa Kalong, Gunungsindur, Bogor, sebuah keluarga bersahaja juga memberikan lahannya untuk fasilitas pendidikan. Di kampung dekat Ibukota itu, keluarga Nurbaiti memfasilitasi warga untuk menyekolahkan anak-anak di jenjang playgroup, TPQ, MI, juga majelis taklim.
Rumahnya yang sederhana, bahkan nyaris tak pernah dikunci. Satu ruang pribadi pun hampir tak ada. Semua, bebas menggunakan fasilitas yang ada di dalam rumah. Meski di belakang rumah sudah dibangun dua lokal kelas, tapi para wali santri hingga anak-anak, masih menggunakan bagian dalam rumah. Tak sekadar mereka menggunakan fasilitas belajar, meja makan pun, isinya juga boleh disantap siapa saja.
Kisah hebat serupa juga dijalani La Ode Ardin bersama istrinya di Kendari Sulawesi Tenggara. Dia membeli lahan cukup luas dari penghasilannya sebagai guru ngaji. Di atas tanah dekat Bandara Kendari itu, ia mendirikan Madrasah Tsanawiah. Murid asuhnya dari warga jauh dan dekat yang terbelakang kondisi ekonominya. Sebagian, bahkan anak-anak yang bekerja sebagai pembuat bata merah.
Di sekolah yang tiga tahun lalu terbuat dari papan rapuh itu, tak ada busana formal. Anak-anak bebas memakai sandal jepit, bahkan ada yang jarang mandi. Tapi, kondisi buruk itulah yang bertahap diubah Ardin. Anak-anak yang lahir berpeluh derita, harus mendapatkan pengetahuan yang layak dan adil. Mereka perlu diselamatkan, tidak oleh kritik melulu ke negara, tapi dengan tindakan nyata.
Sulit mengucapkan kata sanjung untuk orang-orang hebat itu. Tapi mereka tak butuh. Meski dipandang umum sebagai bukan siapa-siapa, tapi mereka telah melakukan pengabdian hebat lebih dari orang yang dianggap hebat oleh umum. Diukur dari kekayaan, mereka golongan dhuafa yang untuk makan saja sulit. Tapi, nyatanya amat kaya. Mereka mampu menyelamatkan sebuah generasi, tidak dengan pajak atau amunisi yang diperoleh dari korupsi.
Serba sederhana kehidupan mereka bukan berarti tak punya sikap. Dua pekan lalu, salah satu dari mereka menolak bantuan Rp 100 juta dari sebuah perusahaan minyak asing. Alasannya sederhana, dana itu diperoleh dari perut bumi yang tak menyejahterakan rakyat tapi menciptakan kemiskinan yang turun-temurun. Bahkan, mengorbankan kehidupan masyarakat yang ada di sekitar area produksi minyak. Lebih khusus lagi, minyak yang disuplai ke negeri asing itu, digunakan untuk perang memusuhi dan membunuh umat muslim di belahan negara lain.
Tak hanya perusahaan minyak asing, bahkan seorang pejabat juga ditolak bantuannya, karena ia ragu sumber uangnya. Niat mereka sederhana, dari bibit dan pupuk yang baik akan tumbuh tunas baik dan buah yang bermanfaat. Tugas mulia ini telah mereka pasrahkan ke Allah SWT. “Saya menjual diri untuk Allah, insya Allah ini perniagaan yang halal," tutur Mudasir. Kejujuran yang mestinya mencabik nurani kemanusiaan kita.
Red: irf
Sumber: Baznas
Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Nusantara
Langganan:
Postingan (Atom)