Sabtu, 10 Oktober 2009
Kisah Aboutaleb, Wali Kota Muslim Rotterdam
ROTTERDAM--Seorang perempuan berjilbab menggandeng tangan anak-anaknya. Ia berlalu melewati sebuah toko minuman keras. Ia melenggang, mengabaikan deretan botol minuman keras yang terlihat dalam toko. Kakinya, ia langkahkan ke toko daging Muslim, di sebelah toko minuman itu.
Di seberang jalan, seorang laki-laki muncul dari sebuah toko alat bantu seks dengan barang-barang yang dibelinya. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat, tanpa menoleh ke sebuah restoran kebab Turki yang baru saja dibuka untuk makan siang.
Pemandangan itu terlihat di salah satu kota di Belanda, Rotterdam. Orang konservatif dan liberal, religius dan sekuler, serta orang Belanda dan asing, semuanya ada di sana. Perbedaan ini harus mampu dikelola dan terkadang juga menjadi potensi konflik.
Keberagaman semacam itulah yang dihadapi Ahmed Aboutaleb, Wali Kota Rotterdam, Belanda. Awal tahun lalu, ia yang seorang Muslim kelahiran Maroko dipercaya memimpin kota itu. Tentu, ia pun dituntut mampu menjembatani perbedaan budaya dan keyakinan masyarakatnya itu.
Aboutaleb baru sembilan bulan tinggal di Rotterdam. Ia menjadi Muslim imigran pertama yang memimpin sebuah kota besar di Belanda, seperti Rotterdam. Seperti diketahui, Rotterdam merupakan kota terbesar kedua yang ada di Belanda.
Keberhasilan anak seorang imam ini menjadi sebuah kisah klasik keberhasilan seorang imigran. Aboutaleb memang harus merangkak dari bawah hingga menduduki jabatan seperti sekarang ini. Saat remaja, ia tiba di Belanda.
Aboutaleb bekerja keras dan sedikit demi sedikit menaiki tangga sosialnya. Mulanya, ia menjadi seorang jurnalis. Namun kemudian, ia mengubah haluan hidupnya, menjadi seorang politikus. Ia bergabung dengan Partai Buruh di Amsterdam.
Penominasian Aboutaleb, sebagai wali kota Rotterdam oleh pimpinan partainya, yang dianggap oleh sebagian orang hanya posisi seremonial, telah membuat sejumlah pengamat merasa terkejut. Apalagi, ia yang seorang imigran Muslim akhirnya menjadi seorang wali kota.
Apalagi, Rotterdam merupakan sebuah kota di mana imigrasi dan integrasi menjadi sebuah persoalan. Banyak kalangan menyorot soal imigran Muslim, yang tak jarang dianggap memicu gesekan dengan warga masyarakat lainnya.
Pada 2002, misalnya, Pim Fortuyn, seorang populis dan politikus yang mengecam Islam dan menganggapnya sebagai agama terbelakang, tewas ditembak oleh seorang berkulit putih yang mengklaim melakukannya untuk mendukung komunitas Muslim.
Aboutaleb juga dihadapkan pada kemungkinan munculnya gesekan semacam itu. Ia harus mampu melayani semua orang, tak hanya Muslim yang tinggal di sana. Di sisi lain, komunitas Muslim tentu berharap ia mampu memberikan perlindungan bagi mereka.
Aboutaleb harus mampu mengatasi dan menghadapi segala masalah terkait dengan keberagaman masyarakat selama enam tahun menjabat sebagai wali kota. Dalam kurun beberapa pekan terakhir, ia menyatakan ingin membicarakan soal integrasi.
Namun, Aboutaleb tak menjelaskan bagaimana cara memulainya. Untuk menjalankan langkahnya itu, ia harus mampu memberikan arahan yang benar pada para pemeluk agama yang berbeda di Rotterdam dan semua pemangku kepentingan di sana, termasuk aktivis atau birokrat.
''Langkah itu memang cukup berisiko baginya. Sebab, jika dia gagal, tak akan ada seorang pun yang akan membelanya,'' kata Rinus van Schendelen, seorang profesor ilmu politik dari Erasmus University, Rotterdam, seperti dikutip Los Angeles Times, belum lama ini.
Sebagai wali kota, kata Schendelen, Aboutaleb harus mampu mengambil langkah dengan tepat. Ia harus mampu menghadapi kelompok masyarakat yang selama ini meyakini konsep masyarakat liberal dan sekuler dan kelompok imigran yang Muslim dan sering dijadikan kambing hitam.
Apalagi, ada komentar tak sedap yang dilontarkan oleh politikus garis keras di Belanda, Geert Wilder. Ia mengatakan, terpilihnya Aboutaleb menjadi wali kota merupakan hal yang tak bisa diterima. Ini, kata dia, seperti memilih seorang Belanda menjadi wali kota Makkah.
Di sisi lain, Muslim merasakan kegembiraan membuncah atas terpilihnya Aboutaleb sebagai wali kota. ''Saya benar-benar bahagia dia menjadi wali kota. Seorang wali kota harus mampu menyatukan masyarakatnya. Ia pasti bisa,'' kata seorang ahli farmasi, Jilani Sayed. fer/itz (By Republika Newsroom
Jumat, 09 Oktober 2009 pukul 14:36:00)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar