Senin, 15 Februari 2010
Dosa dipikul pelakunya!
Cukup banyak orang yang terkesan bermasa bodoh atas apa risiko lanjut dari yang dilakukannya, meskipun orang seperti ini tahu bahwa yang dilakukannya itu bukanlah hal yang benar; misalnya ketika dia melakukan sesuatu atas suruhan ataupun perintah seseorang. Bahkan kepada orang yang "bernasib sama" dengan dirinya orang ini terkadang "berpromosi" dengan mengatakan: "Sudahlah lakukan saja, biarlah dosanya nanti dia yang menanggung". Orang-orang seperti ini perlu dikasihani; mereka mungkin kurang memahami bahwa Allah SWT sudah menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengambil alih dosa orang lain (QS 6:164, 17:15, 35:18, 39:7). Seseorang akan menanggung dosa atas kesalahan yang dilakukannya. Bahkan bukan itu saja; Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan kalaulah dosa yang dilakukannya itu kemudian ternyata ditiru orang lain (walaupun dia tidak bermaksud mengajari!), maka dia akan mendapat tambahan dosa sebesar dosa orang-orang yang menirunya, tanpa mengurangi dosa peniru itu sedikitpun. Rasulullah mencontohkan bahwa Qabil akan mendapat tambahan dosa setiap kali ada pembunuhan, karena Qabil adalah yang "memberi contoh" memulai adanya pembunuhan atas manusia.
Manusia telah dilengkapi dengan akal yang dengan itu dia secara "alami" dapat mengenali mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga orang sebenarnya dapat menentukan sikap yang benar. Namun nyatanya syaitan sering mampu memberikan gambaran yang salah sehingga orang lalu cenderung memilih yang salah. Dan atas pilihannya itu Allah nanti akan memintai pertanggungjawabannya, untuk selanjutnya diberi pahala jika benar atau dihukum jika salah.
Dalam mengikuti perintah, suruhan, ataupun ajakan, seseorang tidak boleh berbuat tanpa pertimbangan sendiri. Secara sederhana Rasulullah SAW menyatakan: "Tidak boleh mentaati seseorang untuk bermuat maksiat kepada Allah; ketaatan hanya boleh dalam mematuhi Allah".
Akankah kita sekedar menjadi pak turut meskipun akan masuk neraka?
Wa l-Lahu a'lamu bi sh-shawwab
dr. H.R.M. Tauhid-al-Amien, MSc., DipHPEd., AIF.
e-mail: tauhid@telkom.net
Jalan Kendangsari Lebar 48 Surabaya INDONESIA 60292
Telp. (031)-841-7486, 081-652-7486
Saat Valentine’s Day dan Imlek Tiba Bersama
Oleh : Zainul Arifin
Dalam beberapa agama, terdapat sesuatu yang dianggap bid’ah. Yakni mengada-adakan sesuatu yang baru, yang tidak ada contohnya sebelumnya, tidak ada dalil yang menguatkannya dan bukan bagian dari ajaran (syari’at) yang harus dilaksanakan. Dalam Agama Islam telah banyak diperbincangkan mengenai hal ini. Bid’ah yang terus dilaksanakan, seringkali kemudian dianggap sebagi sesuatu yang benar oleh generasi-generasi berikutnya.
Tatkala zaman berubah, bid’ah ini kemudian ada yang dikemas sebagai suatu komoditas pasar. Dirayakan, dipromosikan, sehingga makin sulitlah mencegah atau memberantasnya. Bid’ah ini kemudian bisa pula menarik masyarakat luas di luar penganut agama dimana bid’ah ini awalnya berkembang. Atas nama kebebasan, pasar, sesuatu yang dianggap berkaitan dengan agama tersubordinasi di bawah logika kapitalisme.
Di kalangan Nasrani terdapat ”bid’ah” yang dewasa ini menjadi komoditas pasar global, Valentine’s Day, Hari Valentine yang dirayakan pada tanggal 14 Februari. Disebut bid’ah, karena hari raya ini tidak ada dalam ajaran Nasrani. Ia bahkan semacam kultus individu kepada Santo Valentine, yang tidak tercatat secara cukup terang dalam buku sejarah perjalanan Agama Nasrani. Kultus itu dikembangkan atas nama Hari Kasih Sayang.
Pada Wikipedia (ensiklopedia di internet) dituliskan bahwa, Hari Valentine pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Asal-muasalnya gelap sebagai sebuah hari raya. Hari raya ini tidak mungkin diasosiasikan dengan cinta yang romantis sebelum akhir Abad Pertengahan ketika konsep-konsep macam ini diciptakan.
Dari penuturan di atas dapat ditangkap secara mudah, bahwa Hari Valentine adalah semacam bid’ah, tradisi dalam suatu agama yang tidak ada kaitannya dengan kandungan kitab suci. Celakanya, di era pasar global sekarang ini, tradisi ini justru diagung-agungkan oleh orang-orang awam yang termakan promosi pasar. Tak terkecuali di kalangan remaja dan anak-anak muda Muslim! Ini sungguh menyedihkan.
Hari Valentine dihidup-hidupkan hingga sekarang, bahkan ada kesan kian meriah, itu tidak lain dari upaya para pengusaha yang meraup keuntungan sangat besar dari event itu. Mereka sengaja meniup-niupkan Valentine’s Day sebagai hari khusus yang sangat spesial bagi orang yang dikasihi, agar dagangan mereka laku dan mereka mendapat laba yang besar. Inilah apa yang sering disebut oleh para sosiolog sebagai industrialisasi agama, dimana ”perayaan agama” oleh kapitalis dibelokkan menjadi perayaan bisnis.
Secara kebetulan, pada tahun 2010 ini perayaan Imlek 2561 bagi penganut agama Khonghucu datang bersamaan dengan hari Valentine itu. 14 Februari 2010. Sejak dicabutnya larangan perayaan-perayaan masyarakat Tionghoa dan diakuinya kembali eksistensi agama Khonghucu di Indonesia pada era Presiden Abdurrhamna Wahid, maka hari raya Imlek dan Capgomeh tampil meriah. Kemeriahan itu menyebar ke segenap lapis masyarakat dan makin hari makin memancing partisipasi umat beragama selain Khonghucu. Inilah yang kemudian memancing perdebatan.
Berbeda dengan Valintine’s day, hari raya Imlek dipercaya sebagai bagian syah dari Agama Khonghucu. Dalam posisi ini, tentu ia bukanlah bid’ah bagi penganut Konfusius. Dengan demikian dalam perayaan Imlek itu akan ada dua unsur yang dominan, pertama, hal-hal yang berkenaan dengan ritus agama. Kedua, yang berupa kemeriahan semata di luar pelaksanaan ritual agama. Arak-arakan naga (liong) dan barongsay pada saat Imlek dan Capgomeh, yang tampil sangat meriah, pada sebagian kalangan umat non Konghucu masih menimbulkan kebimbangan : ia (terutama Naga) adalah bagian dari ritual agama atau bukan. Jika ia masuk sebagai ritus, tentu bagi kaum Muslim tidak boleh berpartisipasi di dalamnya.
Islam melarang umatnya turut merayakan peribadatan agama lain. Terlebih bagi sesuatu yang mengada-ada pada agama lain itu. Islam juga melarang melestarikan tradisi-tradisi buruk yang tidak ada tuntutannya dalam agama. Rasulullah bersabda, ”Barangsiapa mengajak kepada hidayah, maka baginya pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya, tidak kurang sedikitpun dari pahala mereka, dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa yang sama dengan dosa orang yang mengikutinya, tidak kurang sedikitpun dari dosa mereka.” (HR Muslim dari Abu Hurairah). Dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut,” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dari Ibn Umar).
Berkenaan dengan kedatangan perayaan Imlek dan kemeriahan Hari Valentine yang bersamaan, kaum Muslimin tentu harus sangat berhati-hati. Agar tidak terjebak pada sesuatu yang mengganggu akidah kita. Allahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)