Sabtu, 26 September 2009
FESTIVAL KORUPSI DI SEBUAH NEGERI
Mustofa W Hasyim
Pada tahun 9999 ada wartawan tersesat di sebuah negeri
Ia salah masuk terminal di bandara, pesawatnya menuju negeri itu
Di dalam pesawat ia sudah mulai heran, lebih lima jam perjalanan
Pramugari hanya memberi aqua gelas dan permen
“Mengapa penumpang tidak diberi makan siang atau apa?”
“Anda sedang menuju negeri Korupsiana, anggaran makan siang ada,
tapi kata pimpinan, makan siang tidak akan diberikan.”
Mendengar kata pramugari, wartawan itu heran, Korupsiana?
Negeri apa pula ini? Mengapa aku harus menuju ke negeri ini?
Pramugari tadi mendekat sambil tersenyum manis, bebrisik lirih,
“Anda tahu, menurut aturan pesawat ini seharusnya terbang
di ketinggian tigaribu kaki, tapi pilot hanya menaikkan pesawat ini
seribu limaratus kaki.”
Wah, ketinggian pesawat saja dikorupsi oleh pilot pesawat ini,
makan siang juga. hebat juga perusahaan negara negeri Korupsiana ini,
pikir wartawan itu.
Pesawat mendarat dengan kecepatan yang diperlambat separonya,
menyentuh landasan yang panjangnya hanya separo landaan normal
“Ini benar-benar di luar dugaan, di negeri Korupsiana orangnya kreatif betul,
Kecepatan pesawat dikorupsi, panjang landasan pacu dikorupsi, dan
semua selamat-sentausa tak kurang satu apa,” gerutu wartawan itu.
Sang wartawan segera dicegat oleh pemandu wisata, “Selamat Datang.”
“Terima kasih. Saya baru pertama menginjak negeri ini, jadi banyak heran
Gumun sejak tadi.”
“Saudara bruntung datang ke negeri ini hari ini,” kata pemandu wisata
“Kenapa?” wartawan heran.
“Karena nanti malam ada pembukaan Festival Korupsi. Festival tahunan
Negeri ini, akan berlangsung empatpuluh hari empatpuluh malam.”
“Wow, wow. Ini sungguh wonderfull country, sungguh unpredictable country.”
“Yes, in my country the wrong it right and the right is wrong.”
“Ya, betul di negeri ini orong-orong le mangan ngirit dan kalau kecirit-cirit harus
sembunyi di gorong-gorong, betul kan?”
‘Yes, yes, very bet.”
“Kok very bet?
“Very bet itu maksudnya very betul. Adalah biasa kalau orang negeri ini
mengunthet atau menyunat huruf-huruf ketika berkata-kata.”
Wartawan itu makin heran. Ia diajak naik taksi, menuu ibukota,
Sepanjang jalan ia lihat gapura yang hanya dibangun satu sisi, banyak mobil hanya
beroda tiga.
“Pasti gapura itu dkoruosi separo ya? Dan mobil-mobil tu dikorupsi banna satu ya?”
“Wah, saudara sangat cerdas. Baru menit pertama tiba di negeri ini sudah cepat
paham. Biasanya kalau turisnya koplo atau kemplu butuh waklu lebih lama lho.”
Sepanjang perjalanan menuju hotel, pemandu wisata itu memberi briefing pada
si wartawan tentang segala sesuatu yang menyangkut negeri ini.
“Disini dasar negaranya adalah Korupsila. Hanya satu kalimat.
Korupsi adalah tradisi kami. Mudah mengingatnya kan?”
“Disini Undang-undang dasar nya juga ringkas, satu kalimat, bunyinya;
Undang-Undang Duit ini merupakan sumber dari segala sumber kemakmuran.”
“Semboyan warga negeri ini juga sederhana, ringkas, bunyinya;
Kemakmuran tanpa keadilan tidak apa-apa, ya tak apa-apa.”
“Lagu kebangsaa kami berjudul Korupsi Raya. Syairnya pendek sekali;
Korupsi raya, merdeka-merdeka, merdeka-merdeka korupsi raya.”
Sang wartawan tertawa ngakak mendengar briefing itu.
“Wah, negerimu lucu,” komentarnya.
Pemandu wisata marah,”Jangan mengejek kami. Kami serius.
Apa yang terjadi di negeri ini sudah berlangsung sejak empat ribu tahun lalu.”
Sang wartawan melongo,” jadi negeri Korupsiana sudah ada sejak sebelum Masehi?”
“Ya. Makanya jangan glenyengan atau menganggap lucu. Semua ini serius.”
Wartawan itu memasang tampang serius walau batinnya masih ngakak terus.
“Lantas Festival Korupsinya diadakan dimana?” ia coba mengalihkan pembicaraan.
“Nanti malam, di Gelanggang Olah-olah.”
“Gelanggang Olah-olah?”
“Ya, di gelanggang Olah-olah. Tempat itu biasa untuk mengolah raga, mengolah jiwa, mengolah masakan, mengolah tender proyek, mengolah suara Pemilu, dan
lainnya. Termasuk mengola suara Pilkadal dan mengolah keputusan hakim.”
Wartawan itu takjub bukan main. Setelah sampai hotel, ia berpesan agar malamnya dijemput dan diantar ke tempat pembukaan Festival Tahunan Korupsi negeri ini.
“Baik siap.”
“Saya juga siap dengan bayarannya.”
“Siap, terima kasih.”
“Siap, terima kasih kembali. Yes.”
Keduanya berpisah. Sang wartawan segera masuk ke kamar hotel yang tadi telah dipesan oleh pemandu wisata. a tertidur nyenyak sampai tidak tahu kalau sebenarnya
isi kamari itu unik juga.
Baru ketka bangun ia tahu kalau kasurnya ternyata Cuma separo, bantalnya juga
Separo, lampu menyala separo, air ledeng mengalir separo, air kemasan dalam
botol beris separo, ketika ia menyalakan televisi, hanya separo layar televisi
yang memancarkan gambar-gambar.
Ia sadar, hari ini benar-benar ada di negeri Korupsiana. Ia memesan nasi goreng,
Telur gorengnya separo, pelayannya berpakaian separo tubuh, wah.
Malam hari, Festival Korups negeri itu dimulai. Dibuka oleh seorang Presiden
“Perhatikan Bapak itu,” bisik pemandu wisata.
Wartawan itu mengamati seroang Presiden yang tengah berpidato,
“Tak ada yang aneh Bung.”
Pemandu wisata tersenyum. “Perhatikan lagi,” katanya.
“Wah, biasa-bisa saa dia. Orang penting suka pidato itu kan biasa.”
“Bukan pidatonya yang perlu diperhatikan, pakaiannya Bung.”
Wartawan ditegur begitu segera mengamati pakaian Bapak itu
“Ya, beliau telah mengorupsi kancing bajunya sendiri. Itu yang seharusnya
lima hanya terpasang tiga. Ya, ya, dasinya dipotong sepertiganya. Wah-wah,
Gila. Kok tali sepatunya hanya satu ang dipakai? Kaos kakinya juga hanya satu.”
“Begitulah negeri ini. Semua orang telah menyatu dengan nafas korupsi, dari orang tertinggi sampai orang terendah semua mahir ngunthet dan ngoruosi barangnya
Sendiri.”
Sehabis pidato ada pemukulan gong, hanya sekali, sebagai tanda resmi dimulainya
Festival Korupsi.
Pembawa acara atau MC lalu menjelaskan bahwa festival ini akan diawali dengan penamplan kelompok-kelompok musik antik dari berbagai pelosok.
“Pertama kali tampil, Kiai Jangkung, akan menampilkan lagu Tombo A…”
“Harap bersiap kelompok kedua Kiai Jengking, menampilkan lagu terkenal
Ili-ili tandue wong sumili..”
Kiai Jangkung dan Kiai Jengking main bagus. “Kelompok ketiga, Kiai Jengkang
Akan menampilkan lagu berjudul Gun-gun pa..”
Menjelang pagi, tampil kelompok musik The Mbesengut, menapilkan lagu
Ibu Pertiwi Tengah Berduka. Ditampilkan tanpa musik tanpa syair, cukup
dengan memasang tampang dan wajah mbesengut saja.
Penonton bertepuk tangan, bersorak-sorak.
“Untuk malam ini acara selesai. Sampai jumpa besok malam.”
Pemandu wisata mengajak jalan-jalan, cari makan, sebelum ke hotel.
Ada warung nasi goreng masih buka.
Wartawan memesan nasi goreng istimewa. Sepiring penuh.
“Lho, rasanya kok anyep, tanpa garam dan bumbu?” protesnya.
Yang menjual hanya tersenyum,” Masak nggak tahu Anda ada dimana.”
O, ternyata di negeri ini penjual makanan pun pandai korupsi bumbu
Malah garam saja disembunyikan tak untuk memasak.
Wartawan itu makin terbiasa dan paham dengan apa yang terjadi,
Ia tidak kaget lagi ketika kopi panasnya pahit tanpa gula.
Begitulah, malam begikutnya ada lomba nasi tumpeng paling korup.
Tahu juaranya? Juara kedua, nasi itu luarnya tampak kuning karena dipilox
Daun pisangnya diganti daun bambu, telur ayamnya diganti telur puyuh.
Juara pertama? Berupa penampilan hologram tumpeng yang indah dan
Tampak lezat. Begitu mesin hologram dimatikan, tumpeng lenyap.
Yang seru adalah malam ketiga Festival Korupsi. Malam lomba menampilkan buku yang paling berharag di negeri ini tahun ini.
Juara buku sastra adalah buku novel yang ketika dibuka ternyata berisi cerpen, dan buku cerpen yang ketika dibaca berisi puisi, dan buku puisi yang ketika dibuka ternyata kosong melompong. Putih. Ini juara pertama.
“Ternyata penyair adalah orang yang paling ahli daam mengkorupsi kata-kata,” begitu kata dewa yuri dalam pidato pertanggungjawaban yuri.
Begitulah, selama empatpuluh hari empatpuluh malam wartawan itu meliput
Festival Korupsi di negeri Korupsiana. Macam-macam hal yang difestivalkan.
Festival ini ditutup oleh Wakil Presiden negeri itu. Ia datang ke panggung dengan mengenakan kaos bergambar mulut mengangga dan celana pendek kepunyaan isteri.
“Dengan tidak usah berdoa, festival ini saya nyatatakan ditu…”
Penonton bertepuk tangan.
Tiba-tiba lampu padam kekurangan stroom. Stroom listrik yang dikorupsi oleh
petugas perusahaan listrik Korupsiana mengakibatkan seluruh lampu di ibukota padam
total, sampai siang.
Wartawan itu berniat kembali ke negerinya sendiri. Ia ingin membandingkan korupsi
yang ada di negerinya dengan di negeri ajaib Korupsiana ini.
Betapa terkejutnya ketika pesawat mendarat di kota kelahiran, meluncur tanpa ban, masuk ke kolam jadi ampibi. Lampu sinyal di bandara diganti dengan senthir.
“Wah, negeriku ternyata jauh lebih maju dibanding negeri tadi,” keluhnya.
Dan ketika akan membuat laporan, semua catatan hilang dan gambar di kamera digital pun tidak ada lagi. Ia lemas. Memilih tidur berhari-hari. 2007
Langganan:
Postingan (Atom)