Sabtu, 30 Desember 2006
apakah sudah berqurban
tadi aku menerima beberapa sms tentang ucapan selamat merayakan idul qurban 1427 hijriyah, sambil menyelipkan do'a "semoga semua pengorbanan" mendapat balasan dari Allah SWT. setelah menerima sms-sms tersebut, aku jagi merenung dan mempertanyakan, sebenarnya apasih yang telah aku korbankan selama ini? apa memang ada pengorbanan tersebut? apa betul yang kita lakukan selama ini bisa disebut sebuah pengorbanan? apa sudah ada pengorbanan untuk negara dan bangsa ? .... apalagi pengorbanan untuk memperjuangkan agama Allah, apa memang ada?.......
Senin, 11 Desember 2006
POLIGAMI HANYA BAGI ORANG YANG BERIMAN
Bagi orang yang beriman (benar-benar iman), tidak ada sedikitpun keraguan untuk menerima dengan sepenuh ketaatan dan keikhlasan atas segala ketentuan yang diberlakukan oleh Allah swt dan Rasulullah saw, terutama ketentuan yang terdapat dalam As Sunnah Maqbullah, apalagi yang terdapat di dalam Al Qur’an.
Begitu pula halnya dengan ketentuan terhadap bolehnya poligami di dalam ajaran Islam, karena sudah dihalalkan oleh Allah swt, maka suka atau tidak suka, kita harus ikhlas menerima apa adanya ketentuan tersebut, kita harus yakin seyakin-yakinnya itu merupakan suatu syariat yang akan membawa kita kepada kebaikan di dunia maupun di akhirat kelak, karena ketentuan itu dibuat oleh Allah swt yang menciptakan manusia, oleh Allah swt yang faham betul tentang sifat dan tabiat manusia yang diciptakannya. Jadi, penerimaan dengan sepenuh hati dan keikhlasan terhadap ketentuan ini atau syariat ini merupakan salah satu tolak ukur keimanan kita terhadap Allah swt.
Namun demikian, untuk mengakomodir “perasaan” (terutama kaum perempuan) yang katakanlah belum bisa pas dengan ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dikembangkan yaitu;
1. Jangan menyalahkan orang yang melakukan poligami, sebab Allah swt telah menghalalkannya, dan Rasulullah saw dan beberapa sahabat beliau yang dijamin masuk surga juga ada yang melakukannya. Apalagi menyalahkan syariat poligami bahkan menganggap orang yang berpoligami sebagai pelaku kriminal. Bagi kita orang Islam yang mengaku beriman, maka menerima dengan ikhlas ketentuan yang telah dihalalkan oleh Allah swt adalah suatu hal yang sangat mutlak.
2. Bahwasanya praktek poligami yang kita lihat dan saksikan kurang pas dimata kita, bukan berarti bahwa syariat poligami itu menjadi hal yang tidak baik, sebab praktek poligami itu tergantung pada diri pribadi orang yang melakukannya. Kalau orang yang melakukannya adalah suami dan istri-istri, orang-orang yang beriman dan bertaqwa, Insya Allah, praktek poligami di rumah tangga dan keluarga tersebut akan sakinah mawadah warahmah, namun sebaliknya, kalau yang melakukan praktek poligami itu suami dan istri-istri, orang-orang yang lemah iman dan taqwanya, biar tidak poligami pun, rumah tangga dan keluarga tersebut susah dan sulit mendapatkan suasana yang sakinah mawadah warahmah. Oleh karena itu apabila sang suami melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya, tidak ada hubungannya dengan poligami, karena banyak juga yang tidak poligami, sang suami melakukan kekerasan terhadap isteri, untuk itu bagi istri yang diperlakukan demikian bisa melaporkan ke polisi, karena hal itu adalah tindakan pidana. Di Negara kita ada KUHP yang mengaturnya.
3. Andaikata hal tersebut terjadi pada diri atau keluarga kita, yakinlah bahwa hal itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah swt terhadap kita, yakinlah Allah swt akan menaikan derajat kita dengan ujian dan cobaan itu, kalau kita sabar, kalau kita lulus dengan ujian itu. Sebab hidup di dunia ini hanya sementara dan main-main saja, hanya senda gurau saja, hidup yang kekal abadi adalah yang di akhirat nanti, itu yang sangat perlu kita persiapkan bekalnya dengan sebaik-baiknya, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa. 4. Kita tidak boleh menambah-nambah syarat atau ketentuan sebagai mana yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan dicontohkan oleh Rasulullah saw, terhadap masalah ini, seperti syarat harus ada ijin dari istri, karena Rasulullah saw tidak pernah minta ijin kepada istri beliau kalau beliau mau nikah lagi, sebab menambah ketentuan seperti itu bisa termasuk bid’ah, bid’ah adalah sesat, sesat itu neraka tempatnya.
Kehidupan keluarga yang bahagia mawadah warahmah tidak ditentukan oleh keluarga yang melakukan monogami atau poligami, tapi oleh kemampuan orang dalam “dzikir” kepada Allah SWT. (QS.Ar Rad (13) ayat 28), ikhlas dan ridha dengan ketentuan agama serta yang mendapat ridha Allah SWT. (QS. Al Bayinah (98) ayat 5 dan 8). Wallahu ‘alam bishawab.
Begitu pula halnya dengan ketentuan terhadap bolehnya poligami di dalam ajaran Islam, karena sudah dihalalkan oleh Allah swt, maka suka atau tidak suka, kita harus ikhlas menerima apa adanya ketentuan tersebut, kita harus yakin seyakin-yakinnya itu merupakan suatu syariat yang akan membawa kita kepada kebaikan di dunia maupun di akhirat kelak, karena ketentuan itu dibuat oleh Allah swt yang menciptakan manusia, oleh Allah swt yang faham betul tentang sifat dan tabiat manusia yang diciptakannya. Jadi, penerimaan dengan sepenuh hati dan keikhlasan terhadap ketentuan ini atau syariat ini merupakan salah satu tolak ukur keimanan kita terhadap Allah swt.
Namun demikian, untuk mengakomodir “perasaan” (terutama kaum perempuan) yang katakanlah belum bisa pas dengan ketentuan tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dikembangkan yaitu;
1. Jangan menyalahkan orang yang melakukan poligami, sebab Allah swt telah menghalalkannya, dan Rasulullah saw dan beberapa sahabat beliau yang dijamin masuk surga juga ada yang melakukannya. Apalagi menyalahkan syariat poligami bahkan menganggap orang yang berpoligami sebagai pelaku kriminal. Bagi kita orang Islam yang mengaku beriman, maka menerima dengan ikhlas ketentuan yang telah dihalalkan oleh Allah swt adalah suatu hal yang sangat mutlak.
2. Bahwasanya praktek poligami yang kita lihat dan saksikan kurang pas dimata kita, bukan berarti bahwa syariat poligami itu menjadi hal yang tidak baik, sebab praktek poligami itu tergantung pada diri pribadi orang yang melakukannya. Kalau orang yang melakukannya adalah suami dan istri-istri, orang-orang yang beriman dan bertaqwa, Insya Allah, praktek poligami di rumah tangga dan keluarga tersebut akan sakinah mawadah warahmah, namun sebaliknya, kalau yang melakukan praktek poligami itu suami dan istri-istri, orang-orang yang lemah iman dan taqwanya, biar tidak poligami pun, rumah tangga dan keluarga tersebut susah dan sulit mendapatkan suasana yang sakinah mawadah warahmah. Oleh karena itu apabila sang suami melakukan tindakan kekerasan kepada istrinya, tidak ada hubungannya dengan poligami, karena banyak juga yang tidak poligami, sang suami melakukan kekerasan terhadap isteri, untuk itu bagi istri yang diperlakukan demikian bisa melaporkan ke polisi, karena hal itu adalah tindakan pidana. Di Negara kita ada KUHP yang mengaturnya.
3. Andaikata hal tersebut terjadi pada diri atau keluarga kita, yakinlah bahwa hal itu merupakan ujian dan cobaan dari Allah swt terhadap kita, yakinlah Allah swt akan menaikan derajat kita dengan ujian dan cobaan itu, kalau kita sabar, kalau kita lulus dengan ujian itu. Sebab hidup di dunia ini hanya sementara dan main-main saja, hanya senda gurau saja, hidup yang kekal abadi adalah yang di akhirat nanti, itu yang sangat perlu kita persiapkan bekalnya dengan sebaik-baiknya, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa. 4. Kita tidak boleh menambah-nambah syarat atau ketentuan sebagai mana yang telah ditetapkan oleh Allah swt dan dicontohkan oleh Rasulullah saw, terhadap masalah ini, seperti syarat harus ada ijin dari istri, karena Rasulullah saw tidak pernah minta ijin kepada istri beliau kalau beliau mau nikah lagi, sebab menambah ketentuan seperti itu bisa termasuk bid’ah, bid’ah adalah sesat, sesat itu neraka tempatnya.
Kehidupan keluarga yang bahagia mawadah warahmah tidak ditentukan oleh keluarga yang melakukan monogami atau poligami, tapi oleh kemampuan orang dalam “dzikir” kepada Allah SWT. (QS.Ar Rad (13) ayat 28), ikhlas dan ridha dengan ketentuan agama serta yang mendapat ridha Allah SWT. (QS. Al Bayinah (98) ayat 5 dan 8). Wallahu ‘alam bishawab.
Sabtu, 02 Desember 2006
LARANGAN BAGI YANG AKAN BERQURBAN
Sejak awal bulan Dzulhijjah, orang yang akan berqurban agar tidak memotong kuku dan tidak memotong rambut. Hal ini berdasar hadist nabi : Dari Ummu Salamah, bahwasanya nabi saw bersabda : Jika kamu telah melihat hilal (bulan sabit yang menandakan tanggal 1 bulan (qomariah) bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantaramu ingin berqurban, maka hendaklah ia menahan untuk tidak memotong rambut dan kukunya. (HR. Muslim (Shahih, al-Adhahiy:3655,3653,3656), al-Tirmidzi (Sunan, al-Adhahiy:1443), an-Nasaiy (Sunan, al-dhahaya:4285,4286,4288), Abu Dawud(Sunan, al-Dhahaya:2409), Ibn Majah (Sunan, al-Adhahiy:3140,3141), Ahmad ibn Hanbal (Musnad Ahmad, Baqiy Musnad al-Anshar:25269, 25359, 25435), al-Darimiy (Sunan, al-Adhahiy:1865,1866).
Langganan:
Postingan (Atom)