Pancasila adalah bentuk final dan ideal bagi rakyat
majemuk atas dasar agama, suku dan bahasa.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin
dalam diskusi publik yang diselenggarakan USINDO (Persahabatan
Amerika-Indonesia) di National Press Club, Washington DC, Jumat,
menyampaikan hal itu ketika menjawab pertanyaan dalam diskusi itu
tentang ide negara Islam atau negara syariat Islam yang diajukan
sejumlah kalangan umat Islam di Indonesia.
Din kepada Antara, Sabtu, mengatakan Negara Pancasila adalah ijtihad
politik para pendiri bangsa termasuk tokoh-tokoh Islam. Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah waktu itu, Ki Bagus Hadikusumo, adalah
orang yang paling berjasa mengubah tujuh kata, "Dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" menjadi "Ketuhanan yang
Maha Esa" seperti sekarang ini.
Namun, kata Din, semua pihak tidak perlu alergi terhadap adanya
gagasan negara Islam maupun negara syariat Islam, karena dalam
perspektif demokrasi semua kelompok masyarakat punya hak untuk
berpendapat selama disalurkan lewat mekanisme konstitusional di
lembaga demokrasi seperti DPR/MPR.
Ceramah dan dialog Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat ini disambut antusias
para tokoh Amerika yang terdiri dari mantan diplomat, anggota
konggres dan pengusaha.
Mereka gencar bertanya tentang masa depan demokrasi di
terkait kendala radikalisme Islam.
Din Syamsuddin meyakinkan mereka bahwa andil umat Islam sangat besar
dalam mendorong demokratisasi
radikalisme agama tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan karena
hal itu adalah gejala temporer yang akan berkurang jika sumber-
sumber penyebabnya diatasi, seperti kemiskinan, keterbelakangan dan
ketidakadilan.
Din sangat yakin, selama arus tengah Islam, seperti Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama dan organisasi
dan berperan maka Islam
Oleh karena itulah lanjut Din, Muhammadiyah tengah berbenah diri
melakukan konsolidasi dan revitalisasi diri menjadi gerakan
kebudayaan dan peradaban dinamis dengan pusat-pusat keunggulan
strategis.
Dalam pertemuan dengan utusan khusus pemerintah Amerika Serikat
tentang kebebasan beragama, John Hanford, Din meyakinkannya bahwa
kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi oleh Islam. Dia lalu
mengutip ayat al-Qur'an yang menyatakan "Tidak ada paksaan dalam
beragama".
Karenanya umat Islam
dalam hidup berdampingan secara damai. Sulit dibayangkan
seperti sekarang ini tanpa toleransi umat Islam sebagai kelompok
mayoritas.
Bahwa adanya gejala konflik dewasa ini, menurut Din, lebih
disebabkan karena adanya segelintir orang di kalangan umat berbagai
agama, baik Islam maupun Kristen, yang fundamentalis dan kurang
memahami asas hidup koeksistensi dalam masyarakat majemuk, disamping
masih lemahnya negara dalam penegakan hukum.
Kunjungan 10 hari Din Syamsuddin masih berlanjut dan direncanakan
hari ini dia berceramah dan berdialog dengan masyarakat
KBRI Washington DC, dan pada 1 Mei berceramah di almamaternya UCLA
tentang "Islam and the Future of Democracy in
CATATAN PAK AMING
Terlalu gegabah menyatakan Ki Bagus Hadikusuno adalah orang yang paling berjasa mengubah tujuh kata, "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa" seperti sekarang ini. atau malah kesalahan besar tokoh-tokoh Islam pada saat itu. Yang jelas kita sekarang ini sulit memperoleh cerita yang “sahih” seputar penghapusan 7 kata tersebut.
Itulah
Oleh karena itu, saya pikir tidak perlu kita terlalu berlebih-lebihan terhadap amerika, apalagi sampai berkunjung kesana segala, untuk memberikan penjelasan. Amerika bukan atasan kita, amerika bukan bos kita.